Tweet |
Sebagian masyarakat Indonesia percaya nama seseorang berhubungan dengan nasib di masa depan. Karenanya, ada budaya ‘ganti nama’. Bagaimana sudut pandang ilmu?
Beberapa tahun terakhir, penelitian psikologi sosial berusaha mencari tahu hubungan antara nama seseorang dengan keputusan yang dibuat oleh mereka misalnya kriteria pasangan, tujuan hidup dan lainnya.
Ilmuwan dari University of Pennsylvania, Uri Simonsohn misalnya mencari tahu bagaimana nama seseorang mempengaruhi keputusan penting yang mereka buat. Simonsohn juga mencari tahu kecenderungan seseorang memilih tempat kerja berdasarkan kemiripan nama perusahaan dengan nama mereka sendiri.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal terbaru, Psychological Science itu menggunakan 438 ribu koresponden asal Amerika Serikat yang melakukan donasi untuk kepentingan kampanye politik di 2004. Simonsohn mencampurkan metode penelitian itu dengan studi sebelumnya yang menyebutkan bahwa 13% pebisnis Belgia memilih perusahaan yang memiliki tiga huruf pertama mirip dengan nama panggilan mereka.
Ternyata, Simonsohn menemukan bahwa seseorang memilih perusahaan yang memiliki nama terkait diri mereka sendiri atau nama keluarga. “Manusia menemukan kausalitas terbalik dari beberapa atraksi bawah sadar untuk memutuskan sesuatu berdasarkan nama mereka sendiri,” kata Simonsohn.
Namun penelitian tersebut bertentangan dengan studi ilmuwan psikologi industry dan organisasi di Ghent University, Frederick Anseel. “Kami tidak benar-benar setuju dengan poin Simonsohn terkait efek huruf di dalam nama,” kata Anseen kepada LiveScience.
Budaya menjadi salah satu unsur yang menjelaskan keputusan tersebut, tegas Anseel. Bagaimanapun, dampak nama terhadap keputusan yang diambil seseorang tidak terlepas dari pembentukan pola pikir manusia itu berdasarkan budaya atau lingkungan mereka. “Dampaknya dapat berbeda-beda di setiap orang bergantung pada karakteristik lingkungan masing-masing,” kata Anseel lagi.
Jean Twenge, professor psikologi di San Diego State University merasa skeptis penelitian Simonsohn dapat diterapkan dalam lingkup masyarakat yang lebih luas. “Ini tidak mewakili populasi dalam bentuk apapun, dengan cara apapun.”
Dalam makalah sebelumnya, Simonsohn pernah mengkritik gagasan seseorang yang memilih pasangan atas dasar kemiripan nama. Menurutnya, seseorang yang memilih pasangan dengan nama yang mirip terkait etnisitas.
Seseorang bernama hampir sama biasanya berdasarkan etnis yang sama, lingkungan yang sama dan latar belakang kehidupan yang sama. Karenanya, pemilihan pasangan berdasarkan nama pun tidak ada hubungannya dengan konsep diri seseorang.
Sebelumnya, penelitian dari University of Michigan pada 2008 menyebutkan bahwa cenderung seseorang memberikan donasi terhadap korban bencana yang memiliki kaitan dengan nama mereka. Misalnya, jika nama Anda Rachel, cenderung menyumbangkan donasi ke badan amal Rita dengan alasan memiliki awalan huruf yang sama yaitu R.
“Ini sangat masuk akal karena keputusan donasi biasanya terkait pemikiran di alam bawah sadar,” tambah Simonsohn. Namun, ia menegaskan penelitian tersebut tidak dapat diterapkan pada dorongan beramal dalam jumlah yang lebih besar. Hal senada juga diungkapkan oleh ilmuwan lain.
“Memang ada beberapa keputusan yang dipikir matang. Namun, sangat penting memahami bahwa orang seringkali bergantung pada pilihan tidak rasional untuk memutuskan hal penting,” kata Anseel. Dalam ilmu psikologi, manusia sebagai makhluk sosial dianggap sering bergantung pada faktor mustahil, tanpa disadari.